Seminggu
sebelum dimulainya semester genap aku bertekad untuk menyelesaikan
pekerjaan laboratoriumku dan segera menyusun skripsiku setelah semua
data diolah dan di bahas dengan persetujuan pembimbingku. Dalam
minggu ini aku benar-benar kerja keras untuk mengejar jadwal ujian
skripsi di bulan Februari. Aini dan Alan, dua sahabat dekatku rupanya
sudah merampungkan draft skripsi mereka bahkan sudah ada di tangan
pembimbing mereka untuk di koreksi dan minggu ini diharapkan selesai
dikoreksi. Mereka, Alan dan Aini ikut membantu agar pekerjaan labku
dapat dirampungkan minggu ini. Akhirnya dengan bantuan mereka aku dapat
menyelesaikan seluruh perkerjaan di Laboratorium. Data yang aku peroleh
aku kompilasi dan mulai diolah dengan metoda statistik sesuai rancangan
percobaan yang aku rencanakan dalam proposal. Hari-hari kulalui dengan
buku-buku text, jurnal ilmiah terbaru, browsing internet untuk
memperoleh rujukan yang mutakhir. Aini dan Alan dua sahabat sejatiku
selalu ada disaat aku memerlukan mereka. Bab I Pendahuluan dan Bab II
Tinjauan Pustaka memang sudah aku lengkapi lebih awal. Bab III Bahan dan
Metode juga sudah siap. Tinggal Bab IV Hasil dan Pembahasan. Bab IV ini
memang sangat menentukan nilai dari skripsiku. Aku benar-benar kerja
keras mengerjakan Bab yang satu ini. Beberapa kali aku berkonsultasi
dengan Prof Soetrisno, pembimbingku dan beberapa kali pula aku harus
membetulkan dan merevisi isi Bab ini. Gambar dan Grafik harus lengkap
agar dapat menunjang isi dari Bab ini. Boleh dikatakan inilah Bab yang
sangat melelahkan. Aku bekerja menggarap Bab IV ini kadang-kadang
dibantu Aini sebagai tukang ketik dan
istimewanya dikerjakan di rumah Aini. Seperti sore hari itu aku dan
Aini mengerjakan skripsiku di beranda belakang rumah Aini di jalan
Bangka. Suasana sore yang cerah secerah hati kami berdua yang kadang
bercanda ditengah keseriusan mengerjakan skripsi.
“Indra
kalau yang ini berita serius !”, kata Aini untuk menegaskan berita
serius ditengah tengah percakapan kami yang selalu bercanda.
“Okey berita serius apa?”, tanyaku.
“Aku
mau melanjutkan kuliah S2 di Australia dan Papa sudah setuju. Hasil
Toeflku yang bulan lalu mendapat nilai 560 hebat bukan?”, tanya Aini
bangga. Tentu saja Aini mampu mendapat nilai sebesar itu. Aini, gadis
cerdas luar biasa ini aku yakin bisa masuk di Perguruan Tinggi di Australia.
“Ain, aku ikut gembira bila nanti kau bisa masuk di salah satu Universitas di Australia!”, kataku.
“Terima
kasih Indra doakan saja agar aku bisa masuk kesana!”, harap Aini.
University of Queensland di Brisbane adalah tujuan sekolah yang
diinginkan Aini. Aku yakin dengan nilai Toefl sebesar itu Aini pasti
diterima di sana tinggal melengkapi persyaratan administrasi lainnya
saja termasuk ijazah S1 nya yang hanya tinggal dua-tiga bulan ke depan.
Kerja
kerasku dan dengan bantuan yang tulus dari Alan dan Aini, akhirnya aku
dapat merampungkan seluruh draft skripsiku untuk kuajukan pada ujian
skripsi bulan Februari ini. Tentu
saja draft ini setelah mengalami koreksi yang teliti dari pembimbingku
Prof Soetrisno. Aku sungguh merasa lega bisa ikut ujian skripsi Februari
ini dan jika lulus aku masuk dalam jadwal wisuda tahap pertama. Semua
ini tanpa bantuan dan dukungan Aini dan Alan tentu aku tidak dapat
mencapai target itu.
Jadwal
ujian skripsiku dan Alan jatuh pada hari Rabu hanya beda jam sedangkan
Aini sehari setelah kami. Alan terjadwal pagi jam 9 sedangkan aku siang
jam 13. Ruang ujian ada di lantai tiga Gedung Utama Kampus. Aku dan Alan
pagi itu sudah bersiap di lantai tiga. Aku memang sengaja datang
pagi-pagi untuk memberikan support kepada Alan. Tepat jam 9 itu
Alan sudah mulai masuk Ruang Ujian. Satu jam sudah berlalu, Alan masih
juga belum keluar dari Ruang Ujian. Satu jam seperempat, satu jam
setengah, satu jam tiga perempat, dua jam. Ternyata Alan masih belum
selesai ujian. Buset asyik amat yang ujian, kataku dalam hati. Beberapa
saat kemudian aku melihat Alan muncul di pintu itu sambil tersenyum
lebar dengan tarikan nafas yang panjang. Aku tertsenyum sambil
menggeleng gelengkan kepala.
“Alhamdulillah
selesai sudah ndra!. Aku rasanya lega sekali semua tugasku sudah
rampung alias beres!”, suara Alan penuh dengan kegembiraan. Aku
menyambutnya dengan jabatan tangan sambil mengucapkan selamat. Aku
melihat si berandalan Alan ini begitu gembira karena sudah menyelesaikan
ujian dengan baik.
“Tadi
Hanya satu pertanyaan yang kujawab dengan ragu. Pertanyaan dari
Profesormu ndra!”, kata Alan. Profesor Soetrisno yang dimaksud Alan
adalah memang Pembimbingku.
“Ayo kita ke Kantin Fakultas. Biar aku yang traktir kamu ndra!”, kata Alan maka kamipun bergegas menuju lantai dua. Ditangga kami berpapasan dengan Aini lalu sekalian saja Aini kami ajak ke Kantin itu.
“Wah
nona manis rupanya baru muncul. Sengaja ya datang jam segini aku tahu
nona manis ini Cuma mau nungguin si Indra ujian, sementara itu aku Cuma
dicuekin!”, kata Alan bercanda.
“Bukan begitu Al sebab aku yakin kamu tanpa aku datangpun pasti bisa!”, suara Aini membela diri.
“Lho berarti Indra tanpa kau datang nanti ujiannya enggak bisa!”, tanya Alan.
“Siapa
yang yang berkata begitu? Indra bukan mahasiswa sembarangan tanpa aku
dia juga pasti bisa apalagi kalau ada aku!”, kata Aini sambil ketawa.
“Iya
iya ngomong sama kamu mana bisa menang. Aktivis HMI memang jago ngomong
apalagi Sekjennya!”, kata Alan menggerutu. Aini adalah Sekjen HMI di
Kampusku. Mendengar itu aku dan Aini tergelak. Di
Kantin itu kami makan siang kemudian sholat Dzuhur di mushalla kecil
dekat Laboratorium Kimia. Hanya tinggal 15 menit lagi ujian skripsiku
akan dimulai. Setelah berdoa maka aku segera menuju lantai tiga diikuti
Alan dan Aini. Tepat jam 13 aku sudah duduk manis di ruang ujian.
Didepanku ada 5 orang Dosen Penguji. Aku duduk bak seorang terdakwa.
Bismillah. Tiba-tiba sekilas wajah Ayah almarhum tersenyum padaku. Oh
Tuhan. Aku semakin bersemangat apalagi tadi malam ibuku menelponku
mengucapkan selamat ujian skripsi dan ibu selalu berdoa untukku. Ada 5
pertanyaan dari Dosen Penguji I. Tiga dosen Penguji lainnya mengajukan
masing-masing 3 pertanyaan. Sedangkan Dosen Penguji yang kelima adalah
Pembimbingku sendiri Prof. Soetrisno. Alhamdulillah semua pertanyaan
dapat aku jawab dengan meyakinkan. Hampir dua jam waktu yang dipakai
untuk ujian itu namun selama itu lebih banyak habis karena kami terlibat
diskusi begitu asyik tentang satu topik tertentu. Ketika aku berdiri di
pintu keluar ruang ujian itu dengan wajah cerah dan aku mengucapkan
Alhamdulillah. Aini
menghampiriku sambil menjabat tanganku. Aini memandangku dengan senyum
kedamaiannya dan matanya yang indah itu seolah menambah kesejukan
hatiku. Alanpun
menjabat tanganku dengan erat sambil memelukku. Rasanya beban berat itu
telah aku jatuhkan dan aku campakkan jauh-jauh berganti dengan kelegaan
dan kegembiraan. Aku punya feeling skripsiku nilainya A. Mengapa tidak?. Semua pertanyaan Penguji semua terjawab dengan sangat meyakinkan. Kabar gembira ini segera
kusampaikan kepada adikku di Bandung dan ibuku. Mereka mengucapkan
Alhamdulillah. Tiba-tiba saja aku teringat Ayah Almarhum. Selepas sholat
Asyar itu aku berdoa untuk Ayah almarhum agar Allah mengampuni segala
dosa-dosa Ayah agar Allah menempatkan Ayah ditempat yang tentram dan
bahagia. Tanpa terasa ada setetes air mata menitik dipipiku. Aku sangat
rindu padamu Ayah. Anakmu baru saja menyelesaikan tugasnya dengan baik
Ayah dan itu semua atas jerih payah Ayah mendidikku sejak kecil dulu.
Malamnya aku tuliskan sebuah puisi di buku harianku khusus untuk Ayahku :
Malam ini tanpa kelambi
Hanya berselimut dingin dan sepi
Setatap mata rembulan ciptakan rindu
Yang sempat membasuh satu puisiku
Untukmu ayahku
Bukankah di sana masih harus kubenah
Sejumlah resah-resahku yang memerah
Menikam langit-langit hitam
Sehingga tertera duka menapak
disela-sela sungai beriak
menahan jatuh,
Namun sempat pula membasuh satu puisiku,
untukmu ayahku.
Gerimis tipis menitik di bumi,
resapkan malam tanpa gemintang,
tanpa dendang tentram,
adakah sempat kau sentuh satu puisimu,
untukku ayahku.
Esoknya giliran Aini menempuh ujian. Aku dan Alan seperti biasa hadir untuk memberi semangat
Aini. Aini masuk Ruang Ujian jam 8 tadi dan sekarang sudah hampir 2 jam
berlalu masih belum ada tanda-tanda ujian selesai. Bahkan 3 jam sudah
berlalu. Ngapain aja mereka. Beberapa saat kemudian Aini muncul didepan
pintu keluar Ruang Ujian. Wajahnya berseri dan senyumnya semakin manis membuat gadis ini bertambah cantik saja. Kami menyalami dan mengucapkan selamat.
“Ain!
Ujianmu hampir tiga jam seperempat lama sekali ya setelah aku
pikir-pikir oh pantas saja Dosen Pengujinya betah menguji kamu karena
kamu memang cantik sampai sampai para Dosen Penguji itu lupa waktu!”,
suara Alan mulai menggoda. Seperti biasa Aini yang digoda dengan
tenangnya tersenyum sambil berkata :
“Salah
sendiri kenapa gadis cantik seperti aku skripsinya harus diuji padahal
sudah jelas skripsiku bermutu tinggi dan salahnya lagi sudah bermutu
tinggi yang nulis juga gadis cantik lagi jadi enggak usah diuji saja
tapi langsung diluluskan aja dong !”, kata Aini sambil tertawa kecil. Mendengar jawaban Aini Alan Cuma bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sementara aku hanya bisa tertawa.
“Oh
ya kalian nanti malam ba’da Isya aku undang ke rumah ada acara syukuran
!”, kata Aini. Aku dan Alan menyampaikan terima kasih atas undangan
tersebut.
“Syukuran apa dulu Ain?”, tanya Alan nampaknya mulai menggoda lagi.
“Tentu saja syukuran keberhasilan kita ini menyelesaikan ujian skripsi dengan lancar dong!”, jawab Aini.
“Ooooh
aku pikir syukuran kamu dilamar Indra!”, kata Alan tambah usil. Busyeet
si Alan ini rusak. Aku ingin tahu bagaimana sikap Aini. Dengan
tenangnya Aini menjawab :
“Ooooh
kalau acara itu tentu saja aku tidak akan mengundang kamu!”, kata Aini
sambil tertawa lepas. Bukan main Aini. Dia tetap wajar dan
tidak tersipu menghadapi godaan Alan. Kembali Alan harus garuk garuk
kepalanya yang tak gatal itu. Mati kutu dia. Aku sebenarnya mengharapkan
Aini tersipu-sipu mendengar selorohnya Alan itu. Tapi ternyata tidak
sehingga sikap Aini yang wajar itu menguatkan dugaanku bahwa Aini selama
ini memang hanya menganggapku seorang sahabat seperti dulu. Dia masih
mengangapku seseorang yang pernah menjadi kekasih Erika, sahabat
karibnya. So? Indra jangan terlalu berharap muluk-muluk ya. He he he
hati kecilku selalu mengajakku untuk menginjakkan kakiku di bumi.
Malam
itu sehabis Isya aku meluncur ke Rumah Aini di Jalan Bangka dengan
sepeda motor antikku. Di teras aku disambut Aini dan dipersilahkan masuk
ruangan yang sudah penuh dengan tamu undangan lainnya. Tampak Alan,
Retno, Triana, Bagus, Zulkifli, Risa, Nina, Ardian, Hendra, Fadel,
Kinas, Tuti, Santi, Sinta, Sisi, Sifa, Amza, Reza, Mita, Mega wah aku
lihat mereka semua adalah teman-teman HMI baik yang seangkatan maupun
yang adik kelas. Tak lama kemudia acara segera dimulai dengan sambutan
tunggal Bapak Bachtiar Chaniago. Beliau adalah Ayah Aini yang Guru Besar
Fisika di UI. Pantaslah jika Aini adalah gadis yang cerdas. Ibunya Aini
ada disamping kiri Pak Bachtiar. Kecantikan ibunya ini rupanya yang
menurun kepada anak gadisnya. Aini adalah anak bungsu dari tiga
bersaudara. Dua orang kakaknya semua laki-laki. Mereka alumnus
pertambangan ITB dan kedokteran UI. Sekarang mereka sudah berkeluarga.
Selama sambutan tunggal Pak Bachtiar, sama sekali aku tidak
memperhatikan apa yang diucapkan beliau. Perhatianku fokus kepada gadis
cantik dengan jilbab rapi menutupi wajah oval bermata tajam dan indah,
berhidung mancung, berbibir ramah dan manis jika tersenyum. Gadis itu
adalah Aini yang ada persis di depanku. Tak bosan-bosan aku memandangnya
yang saat itu sedang tertunduk penuh hidmat mendengarkan wejangan Sang
Ayah. Oh Tuhan begitu sempurna Kau ciptakan dia Maha Besar Engkau ya
Allah. Apakah Kau izinkan andaikan dia jadi istriku?. Aku merasakan
kedamaian jika berada di dekatnya ya rasanya sama seperti dulu ketika
Erika masih bersamaku. Perasaan-perasaan seperti itu seolah kini
berulang. Getaran-getaran hati ini juga demikian. Tidak salah aku memang
jatuh cinta kepada Aini. Tanpa sadar aku sudah demikian lama memandangi
Aini ketika tiba-tiba Aini mengangkat wajahnya dia tersenyum
memandangku dan aku sudah pasti terkejut karena kepergok sedang
memandangnya. Tapi aku segera membalas senyumnya. Acara
syukuran malam itu ditutup dengan makan malam bersama. Acara sederhana
ini selesai tidak terlalu larut malam. Para tamu satu-demi satu mulai
berpamitan. Sebenar-nya aku juga akan segera berpamitan ketika tiba-tiba
Aini mencegahku agar aku sebaiknya jangan pulang dulu. Kulihat Alanpun
sudah pamit duluan. Akhirnya semua tamu-tamu sudah pulang tinggal aku
sendirian.
“Indra
mari kita duduk di teras depan saja!”, ajak Aini. Kami berdua menuju
teras depan. Di sana memang lebih nyaman karena bisa langsung memandang
ke arah jalan Bangka yang malam itu sudah mulai sepi. Padahal biasanya
dari pagi sampai sore jalan ini super ramai karena dilalui Angkot dari
Terminal Baranang Siang pulang pergi ke arah penjuru kota Bogor seperti
jalan Merdeka, Pasar Anyar, Pasar Bogor, Jalan Surya Kencana, Tajur
sampai ke arah Ramayana, Pangrango, Raya Pajajaran, jalan Salak, Gunung
batu, Sindang Barang, Demaga dan entah kemana lagi.
“Indra ada kabar baik lagi!”, suara Aini mengejutkanku.
“Berita apa Ain!”, tanyaku terheran-heran.
“Insya
Allah aku mungkin diterima di salah satu Universitas di Brisbane.
Kolega Papaku di sana bisa merekomendasikanku. Transkip nilaiku sampai semester 7 dan hasil ujian Toefl sudah mereka evaluasi jadi ijazah S1 dan transkip semester 8 nanti tinggal melengkapi persyaratan yang terakhir saja!”, kata Aini gembira.
“Aku
ikut senang Ain kau bisa melanjutkan S2 di sana dan itu pantas untukmu
jika tidak kau lakukan maka kepandaianmu menjadi sia-sia!”, kataku.
“Bisa saja kamu. Lalu Indra apa rencanamu setelah lulus nanti?”, tanya Aini.
“Prof Tris telah memintaku untuk tetap membantu beliau dalam
praktikum kimia dasar, organik, analisis dan instrumen analisis sambil
aku menunggu formasi tenaga dosen..!”, kataku mantap. Ya aku mungkin
tidak akan meninggalkan kota Bogor ini. Aku memutuskan ingin menjadi
dosen di Kampus almamaterku.
“Syukurlah
kalau kau masih mau tetap tinggal di Bogor. Nanti kalau aku sedang
liburan kuliah tidak perlu susah susah mencarimu kalau kau masih di
Bogor iya khan?”, kata Aini sambil tertawa kecil. Oh Aini kenapa ada
angin surga lagi. Mendengar perkataan itu terus terang aku bisa menyalah
artikan kata-katanya. Apakah itu berarti ia akan merindukan aku selama
dia di Australia. Nah lho iya khan mulai lagi aku harus melayang-layang
di Angkasa dengan angan-angan yang kosong.
“Ain kapan rencana kepergianmu ke Australia?”, tanyaku.
“Paling cepat bulan depan mungkin selesai acara wisuda besoknya aku harus bersiap karena dua
hari setelah itu ada intensif bahasa inggris yang harus kuikuti di sana
selama tiga bulan sebelum mengikuti kuliah awal Agustus…!”, kata Aini.
Oh Tuhan tinggal sebulan lagi aku bercengkrama dengan gadis ini dan
setelah itu aku harus berpisah.
Sabtu
itu hari wisuda. Ibuku dan adikku hadir di sana menyaksikanku di
wisuda. Kami dengan suka cita berfoto merayakan keberhasilanku meraih
kesarjanaanku. Pada kesempatan itu untuk pertama kali aku memperkenalkan
Aini kepada ibuku dan adikku. Ibuku berbisik ditelingaku sambil
mengatakan bahwa aku pandai sekali mendapatkan kekasih secantik Aini.
Aku mengatakan kepada Ibu bahwa Aini adalah teman biasa atau sahabat
biasa. Ibuku tidak percaya. Beliau mengatakan Aini sepertinya cocok
menjadi kekasihku dan bahkan ibu sangat setuju jika Aini mau menjadi menantu Ibu. Wah benar-benar aku bingung pada kesan pertama saja Aini sudah bisa menawan hati Ibu. Entahlah aku benar-benar pusing dan bingung.
“Mas
pada saat seperti ini Ayah pasti bangga melihatmu lulus dengan nilai
yang bagus!”, suara Andri adikku memecahkan keheningan. Aku sangat
bersyukur kelulusanku berpredikat Sangat Memuaskan dengan IPK 3,65
sedangkan Aini sudah bisa ditebak dia lulus dengan predikat Cumlauda.
“Ya De !”, aku memanggil Andri dengan panggilan sayang De kependekkan dari Ade. Kulanjutkan perkataanku.
“Memang
kita saat ini merindukan Ayah tapi kita harus sadar bahwa Ayah sudah
dipanggil oleh yang Maha Punya!. Biarkan kerinduan kita kepada Ayah kita
wujudkan dengan doa untuk Ayah!”, kataku perlahan. Aku dan Andri
sepakat bahwa doa anak yang soleh kepada orang tuanya yang sudah
meninggal adalah pahala Allah yang tidak pernah terputus. Hari wisuda
itu benar-benar penuh dengan kegembiraan sekaligus keharuan yang
mendalam. Aku bersama ibu dan Andri adikku meninggalkan Kampus karena
seluruh rangkaian acara wisuda sudah selesai. Aku berjumpa Aini
dipelataran parkir dan kulihat Aini melambaikan tangannya kepadaku
sambil menghampiriku.
“Indra nanti malam aku tunggu di rumah ya!”, suara Aini perlahan.
“Ya
Ain insya Allah aku akan ke rumah!”, kataku perlahan. Lalu Aini
tersenyum dan kembali menemui keluarganya yang sudah menunggu di
pelataran parkir mobil. Kulihat di sana Bapak dan Ibu Bachtiar Chaniago,
kedua orang tua Aini melambaikan tangan kepadaku. Aku membalas lambaian
tangan mereka.
Malam itu sehabis sholat Magrib aku sudah ada di rumah Aini. Kami seperti biasa duduk diteras depan.
“Indra
aku sebenarnya berat meninggalkan kota Bogor ini. Bukan apa-apa aku
tidak terbiasa merantau. Di Australiapun nanti aku tinggal di rumah
sepupu Papaku yang sudah delapan tahun bekerja di Brisbane.
Mudah-mudahan aku betah di sana!”, kata Aini dengan suara pelan.
“Insya Allah Ain demi kariermu dan demi masa depanmu kau pasti betah di sana!”, kataku perlahan.
“Indra
rasanya seperti mimpi malam ini ternyata malam terakhir kita ketemu
karena besok aku harus pergi ke Australia. Besok aku dapat penerbangan
jam 17 dari Bandara Soekarno Hatta dengan Qantas langsung ke Brisbane.
Aku berharap kau mau hadir mengantarkan kepergianku tapi jika tidakpun
malam ini kita kan sudah ketemu. Aku hanya berharap doamu Indra agar aku
diberi ketabahan karena aku merasakan begitu berat meninggalkan
Bogor yang penuh dengan kenangan ini!”, suara Aini perlahan hampir tak
terdengar lalu aku melihat ada setitik air mata dipipinya. Sesungguhnya
aku terkejut mengapa Aini menangis. Apakah dia berat meninggalkan Bogor
atau berat meninggalkanku. Aku tidak tahu.
“Maafkan
aku Indra. Aku terlalu hanyut dengan perasaan !”, kata Aini sambil
mengusap air mata itu. Aku masih terdiam tak dapat berkata sepatah
katapun. Apakah ini saatnya aku mengutarakan cintaku yang selama ini aku
pendam dalam-dalam. Inikah saatnya?. Apakah aku punya kebenanian
mengucapkan cintaku?. Aku merasakan dia mencintaiku ya aku merasakan hal
itu. Tapi apakah benar dia mencintaiku?. Ataukah itu hanya dugaanku
saja. Oh Tuhan seharusnya aku tahu diri. Ingat Firman ALLAH : Perempuan baik-baik hanya untuk laki-laki baik-baik.
Aini adalah perempuan baik-baik tentu dia layak mendapatkan laki-laki
baik-baik. Lha aku iki opo?. Laki-laki baik-baik?. Nanti dulu. Belajar
agama saja baru akhir-akhir ini setelah Aini banyak membantuku. Sudahlah
Indra jangan mimpi dapat memperoleh cinta Aini. Lagi pula Aini mana
mungkin mencintai orang yang dulu pernah menjadi kekasih sahabatnya.
“Indra kenapa kamu melamun?”, suara Aini membuat aku tersentak dari lamunanku.
“Oh
tidak Ain. Aku sebenarnya juga merasa sedih setelah malam ini entah
kapan kita ketemu lagi Ain!”, kataku pelan. Kulihat Aini hanya tertunduk
membisu dan kembali aku melihat setitik air mata meleleh dipipinya. Air
mata itu semakin deras ketika malam semakin larut dan aku harus
berpamitan. Tak ada kata-kata ketika aku bergegas pulang. Hanya tatapan
mata Aini yang indah itu begitu penuh arti bagiku. Aku seperti mengenal
tatapan mata seperti itu. Tatapan mata yang seolah
menunggu ungkapan perasaan hatiku kepadanya. Namun aku dibelenggu
keraguan untuk mengungkapkan rasa cintaku. Ya aku seperti mengenal
tatapan mata seperti itu.
Malam
itu sesampai di rumah aku mendiri-kan sholat tahajud dan berdoa agar
Allah selalu memberi petunjukNya. Dua jam kemudian subuhpun menjelang.
Setelah sholat subuh aku tertidur di sajadah itu. Aku baru terbangun
hampir pukul 12. Astagfirullah. Benar-benar sangat melelahkan. Aku tak
bisa melupakan peristiwa malam itu bersama Aini. Aku merasakan ada
kesedihan dalam diri Aini malam itu. Tatapan matanya yang penuh
kerinduan jelas sekali dapat aku rasakan. Hari ini mungkin dia sudah
berangkat ke Jakarta karena sore ini jam 17 dia sudah harus terbang
ke Brisbane. Aku ingat malam itu tatapan matanya yang teduh penuh
dengan seribu arti padahal aku hanya membutuhkan satu arti saja yaitu
arti cinta yang terdalam yang aku tunggu-tunggu. Sambil
dia menatapku, air matanya tak henti terus menitik dipipinya. Indra
tidakkah kau merasakan bahwa hal itu berarti perasaan Aini begitu sedih
meninggalkanmu. Indra kenapa kau tidak yakin bahwa Aini sebenarnya
benar-benar mencintaimu jika tidak mengapa dia harus menangis malam itu
ketika saat terakhir bertemu denganmu. Indra tidakkah kau yakin
sesungguhnya Aini menganggapmu laki-laki yang istimewa dihatinya, kalau
tidak mengapa dia selalu menemanimu dikala kau merasa mengalami
kesendirian. Indra tidakkah kau merasakan cintanya, kalau tidak, mana
mungkin kau sendiri merasa cinta kepadanya. Oh Tuhan tiba-tiba aku ingin
menyusul Aini. Aku harus ke Bandara. Aku harus menyusul ke Bandara. Aku
harus ketemu Aini. Aku harus mengatakan cintaku kepadanya sebelum
pesawat yang membawanya ke Brisbane terbang
jauh. Aku harus segera ke Bandara. Aku harus mengatakan cintaku
padanya. Oh Tuhan kini sudah pukul 14.00. Aku harus segera sholat dzuhur
dan langsung ke Bandara. Siang itu dengan menggunakan Damri jurusan
Bogor – Soekarno-Hatta, aku menyusul Aini. Semoga Pesawatnya belum
terbang. Selama di perjalanan hatiku gundah dan resah sementara waktu
terus berlalu begitu cepat sedangkan Damri ini aku rasakan begitu lambat
padahal di Tol Jagorawi itu kecepatannya mencapai 120 km/jam. Sesampainya di Bandara ternyata waktu check in
para penumpang sudah selesai aku berlari melihat ke kiri ke kanan
berusaha mencari Aini diantara penumpang-penumpang dan dengan nekad
menerobos masuk ke ruang tunggu di dalam. Untung aku masih bisa
menyelinap dengan aman. Di ruang tunggu itu tidak terlihat Aini maka
akupun berlari menuju tangga ke ruang tunggu keberangkatan. Oh Tuhan aku
melihat Aini di sana sedang menunggu antrian pemeriksaan tiket.
Kupanggil namanya sambil berlari. Aini berbalik dan dia melihatku. Oh
Tuhan Maha Besar Engkau. Ainipun berlari menghampiriku sambil memanggil
namaku. Kini kami berhadapan dekat sekali ya dekat sekali tapi tidak
mampu untuk berkata-kata dan hanya bisa saling memandang. Kulihat
tatapan mata kerinduan yang rasanya pernah kukenal dulu. Bekas tangisan
tadi malam masih membekas di matanya yang indah itu. Kami
saling bertatapan sambil berpegangan tangan seolah olah seperti dua
kekasih yang sudah lama berpisah dan baru bertemu lagi untuk melepaskan
kerinduan.
“Indra!”, suara Aini.
“Aini!”,
suaraku tertahan di kerongkongan. Sesungguhnya aku ingin segera
mengucapkan rasa cintaku kepadanya. Tapi bibirku rasanya terkatup rapat.
Lidahku kelu tidak mampu aku berkata-kata lagi selain menatap Aini
sepuas-puasnya. Sungguh bibirku terkunci. Kata-kata cinta yang sudah aku
persiapkan sejak tadi malam seakan hilang entah kemana. Aku melihat
bibir gadis yang kucinta itu bergetar menahan tangis, matanya
memandangku dalam kesedihan seolah-olah ini adalah perpisahan yang
terakhir kali. Kedua tangannya memegang tanganku erat-erat seakan tidak
mau lepas. Tidak lama kemudian terdengar suara pemberitahuan agar para
penumpang pesawat tujuan Brisbane segera bersiap-siap. Mendengar
pemberitahuan itu kami baru tersadar.
“Indra
selamat tinggal jaga diri baik-baik. Terima kasih kedatanganmu telah
membuatku kembali bersemangat. Terima kasih Indra. Assalaamu’alaikum !”,
suara Aini perlahan sekali dan bibirnya bergetar menahan tangis dengan
tatapan mata kesedihan. Kembali mata indah itu dibasahi air mata.
“ Aini aku-aku akan
merindukanmu. Selamat jalan!”, kataku perlahan. Mendengar kata-kata itu
kulihat Aini tersenyum penuh arti lalu dia melepaskan pegangan
tangannya. Aku hanya terpaku kaku tak bergeming lalu Aini membalikkan
tubuhnya bergegas menuju pesawat. Kulihat dari jauh dia berbalik sambil
melambai-lambaikan tangannya kemudian berlalu memunggungiku. Aku hanya
bisa memandangnya dengan tatapan kosong.
“Aini
Aini aku mencintaimu!”, suaraku perlahan seperti berbisik. Akhirnya
keluar juga kata-kata itu tapi gadis itu kini sudah tidak berada di
sisiku lagi. Pesawat terbang itu telah membawanya pergi jauh menembus
awan sementara aku disitu masih termangu memunguti rindu-rinduku yang
berserakan di lantai.
Sebuah
kata cinta sudah terucap namun hanya Allah yang tahu maka biarkanlah
aku mencurahkan isi hatiku padaNya. Tiada tempat sebaik-baik tempat
selain berada disisiNya.
Ya Allah, aku pernah berkata bahwa,
semua cinta dan segala cinta,
adalah milikMu bukan milikku,
bukan milik siapa-siapa,
maka aku sangat takut berdosa,
jika aku mencintainya ,
bukan karena aku mencintaiMu,
aku tanam budi dihatinya,
tidak kukotori dengan pamrih,
biarkan tetap putih,
hingga akhir nanti.
Ya Allah, cinta adalah rahasia besar milikMu,
berilah aku kekuatan untuk memahaminya,
aku mohon perlindungan hati ini,
dari kejahatan diriku sendiri,
aku bersimpuh bersimbah peluh,
aku berdoa tengadah,
beriring gundah, bergenggam resah.
Aku berlutut berpangku takut.
Aku berjalan tertatih dan terjatuh,
hanya untuk menggapai cintaMu.
(FIKSIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar