Selasa, 06 November 2012

Kemarau Panjang di Kota Hujan

Seminggu sebelum dimulainya semester genap aku bertekad untuk menyelesaikan pekerjaan laboratoriumku dan segera menyusun skripsiku setelah semua data diolah dan di bahas dengan persetujuan pembimbingku. Dalam minggu ini aku benar-benar kerja keras untuk mengejar jadwal ujian skripsi di bulan Februari. Aini dan Alan, dua sahabat dekatku rupanya sudah merampungkan draft skripsi mereka bahkan sudah ada di tangan pembimbing mereka untuk di koreksi dan minggu ini diharapkan selesai dikoreksi. Mereka, Alan dan Aini ikut membantu agar pekerjaan labku dapat dirampungkan minggu ini. Akhirnya dengan bantuan mereka aku dapat menyelesaikan seluruh perkerjaan di Laboratorium. Data yang aku peroleh aku kompilasi dan mulai diolah dengan metoda statistik sesuai rancangan percobaan yang aku rencanakan dalam proposal. Hari-hari kulalui dengan buku-buku text, jurnal ilmiah terbaru, browsing internet untuk memperoleh rujukan yang mutakhir. Aini dan Alan dua sahabat sejatiku selalu ada disaat aku memerlukan mereka. Bab I Pendahuluan dan Bab II Tinjauan Pustaka memang sudah aku lengkapi lebih awal. Bab III Bahan dan Metode juga sudah siap. Tinggal Bab IV Hasil dan Pembahasan. Bab IV ini memang sangat menentukan nilai dari skripsiku. Aku benar-benar kerja keras mengerjakan Bab yang satu ini. Beberapa kali aku berkonsultasi dengan Prof Soetrisno, pembimbingku dan beberapa kali pula aku harus membetulkan dan merevisi isi Bab ini. Gambar dan Grafik harus lengkap agar dapat menunjang isi dari Bab ini. Boleh dikatakan inilah Bab yang sangat melelahkan. Aku bekerja menggarap Bab IV ini kadang-kadang dibantu Aini sebagai tukang ketik dan istimewanya dikerjakan di rumah Aini. Seperti sore hari itu aku dan Aini mengerjakan skripsiku di beranda belakang rumah Aini di jalan Bangka. Suasana sore yang cerah secerah hati kami berdua yang kadang bercanda ditengah keseriusan mengerjakan skripsi.
“Indra kalau yang ini berita serius !”, kata Aini untuk menegaskan berita serius ditengah tengah percakapan kami yang selalu bercanda.
“Okey berita serius apa?”, tanyaku.
“Aku mau melanjutkan kuliah S2 di Australia dan Papa sudah setuju. Hasil Toeflku yang bulan lalu mendapat nilai 560 hebat bukan?”, tanya Aini bangga. Tentu saja Aini mampu mendapat nilai sebesar itu. Aini, gadis cerdas luar biasa ini aku yakin bisa masuk di Perguruan Tinggi di Australia.
“Ain, aku ikut gembira bila nanti kau bisa masuk di salah satu Universitas di Australia!”, kataku.
“Terima kasih Indra doakan saja agar aku bisa masuk kesana!”, harap Aini. University of Queensland di Brisbane adalah tujuan sekolah yang diinginkan Aini. Aku yakin dengan nilai Toefl sebesar itu Aini pasti diterima di sana tinggal melengkapi persyaratan administrasi lainnya saja termasuk ijazah S1 nya yang hanya tinggal dua-tiga bulan ke depan.
Kerja kerasku dan dengan bantuan yang tulus dari Alan dan Aini, akhirnya aku dapat merampungkan seluruh draft skripsiku untuk kuajukan pada ujian skripsi bulan Februari ini. Tentu saja draft ini setelah mengalami koreksi yang teliti dari pembimbingku Prof Soetrisno. Aku sungguh merasa lega bisa ikut ujian skripsi Februari ini dan jika lulus aku masuk dalam jadwal wisuda tahap pertama. Semua ini tanpa bantuan dan dukungan Aini dan Alan tentu aku tidak dapat mencapai target itu.
Jadwal ujian skripsiku dan Alan jatuh pada hari Rabu hanya beda jam sedangkan Aini sehari setelah kami. Alan terjadwal pagi jam 9 sedangkan aku siang jam 13. Ruang ujian ada di lantai tiga Gedung Utama Kampus. Aku dan Alan pagi itu sudah bersiap di lantai tiga. Aku memang sengaja datang pagi-pagi untuk memberikan support kepada Alan. Tepat jam 9 itu Alan sudah mulai masuk Ruang Ujian. Satu jam sudah berlalu, Alan masih juga belum keluar dari Ruang Ujian. Satu jam seperempat, satu jam setengah, satu jam tiga perempat, dua jam. Ternyata Alan masih belum selesai ujian. Buset asyik amat yang ujian, kataku dalam hati. Beberapa saat kemudian aku melihat Alan muncul di pintu itu sambil tersenyum lebar dengan tarikan nafas yang panjang. Aku tertsenyum sambil menggeleng gelengkan kepala.
“Alhamdulillah selesai sudah ndra!. Aku rasanya lega sekali semua tugasku sudah rampung alias beres!”, suara Alan penuh dengan kegembiraan. Aku menyambutnya dengan jabatan tangan sambil mengucapkan selamat. Aku melihat si berandalan Alan ini begitu gembira karena sudah menyelesaikan ujian dengan baik.
“Tadi Hanya satu pertanyaan yang kujawab dengan ragu. Pertanyaan dari Profesormu ndra!”, kata Alan. Profesor Soetrisno yang dimaksud Alan adalah memang Pembimbingku.
“Ayo kita ke Kantin Fakultas. Biar aku yang traktir kamu ndra!”, kata Alan maka kamipun bergegas menuju lantai dua. Ditangga kami berpapasan dengan Aini lalu sekalian saja Aini kami ajak ke Kantin itu.
“Wah nona manis rupanya baru muncul. Sengaja ya datang jam segini aku tahu nona manis ini Cuma mau nungguin si Indra ujian, sementara itu aku Cuma dicuekin!”, kata Alan bercanda.
“Bukan begitu Al sebab aku yakin kamu tanpa aku datangpun pasti bisa!”, suara Aini membela diri.
“Lho berarti Indra tanpa kau datang nanti ujiannya enggak bisa!”, tanya Alan.
“Siapa yang yang berkata begitu? Indra bukan mahasiswa sembarangan tanpa aku dia juga pasti bisa apalagi kalau ada aku!”, kata Aini sambil ketawa.
“Iya iya ngomong sama kamu mana bisa menang. Aktivis HMI memang jago ngomong apalagi Sekjennya!”, kata Alan menggerutu. Aini adalah Sekjen HMI di Kampusku. Mendengar itu aku dan Aini tergelak. Di Kantin itu kami makan siang kemudian sholat Dzuhur di mushalla kecil dekat Laboratorium Kimia. Hanya tinggal 15 menit lagi ujian skripsiku akan dimulai. Setelah berdoa maka aku segera menuju lantai tiga diikuti Alan dan Aini. Tepat jam 13 aku sudah duduk manis di ruang ujian. Didepanku ada 5 orang Dosen Penguji. Aku duduk bak seorang terdakwa. Bismillah. Tiba-tiba sekilas wajah Ayah almarhum tersenyum padaku. Oh Tuhan. Aku semakin bersemangat apalagi tadi malam ibuku menelponku mengucapkan selamat ujian skripsi dan ibu selalu berdoa untukku. Ada 5 pertanyaan dari Dosen Penguji I. Tiga dosen Penguji lainnya mengajukan masing-masing 3 pertanyaan. Sedangkan Dosen Penguji yang kelima adalah Pembimbingku sendiri Prof. Soetrisno. Alhamdulillah semua pertanyaan dapat aku jawab dengan meyakinkan. Hampir dua jam waktu yang dipakai untuk ujian itu namun selama itu lebih banyak habis karena kami terlibat diskusi begitu asyik tentang satu topik tertentu. Ketika aku berdiri di pintu keluar ruang ujian itu dengan wajah cerah dan aku mengucapkan Alhamdulillah. Aini menghampiriku sambil menjabat tanganku. Aini memandangku dengan senyum kedamaiannya dan matanya yang indah itu seolah menambah kesejukan hatiku. Alanpun menjabat tanganku dengan erat sambil memelukku. Rasanya beban berat itu telah aku jatuhkan dan aku campakkan jauh-jauh berganti dengan kelegaan dan kegembiraan. Aku punya feeling skripsiku nilainya A. Mengapa tidak?. Semua pertanyaan Penguji semua terjawab dengan sangat meyakinkan. Kabar gembira ini segera kusampaikan kepada adikku di Bandung dan ibuku. Mereka mengucapkan Alhamdulillah. Tiba-tiba saja aku teringat Ayah Almarhum. Selepas sholat Asyar itu aku berdoa untuk Ayah almarhum agar Allah mengampuni segala dosa-dosa Ayah agar Allah menempatkan Ayah ditempat yang tentram dan bahagia. Tanpa terasa ada setetes air mata menitik dipipiku. Aku sangat rindu padamu Ayah. Anakmu baru saja menyelesaikan tugasnya dengan baik Ayah dan itu semua atas jerih payah Ayah mendidikku sejak kecil dulu. Malamnya aku tuliskan sebuah puisi di buku harianku khusus untuk Ayahku :
Malam ini tanpa kelambi
Hanya berselimut dingin dan sepi
Setatap mata rembulan ciptakan rindu
Yang sempat membasuh satu puisiku
Untukmu ayahku
Bukankah di sana masih harus kubenah
Sejumlah resah-resahku yang memerah
Menikam langit-langit hitam
Sehingga tertera duka menapak
disela-sela sungai beriak
menahan jatuh,
Namun sempat pula membasuh satu puisiku,
untukmu ayahku.
Gerimis tipis menitik di bumi,
resapkan malam tanpa gemintang,
tanpa dendang tentram,
adakah sempat kau sentuh satu puisimu,
untukku ayahku.
Esoknya giliran Aini menempuh ujian. Aku dan Alan seperti biasa hadir untuk memberi semangat Aini. Aini masuk Ruang Ujian jam 8 tadi dan sekarang sudah hampir 2 jam berlalu masih belum ada tanda-tanda ujian selesai. Bahkan 3 jam sudah berlalu. Ngapain aja mereka. Beberapa saat kemudian Aini muncul didepan pintu keluar Ruang Ujian. Wajahnya berseri dan senyumnya semakin manis membuat gadis ini bertambah cantik saja. Kami menyalami dan mengucapkan selamat.
“Ain! Ujianmu hampir tiga jam seperempat lama sekali ya setelah aku pikir-pikir oh pantas saja Dosen Pengujinya betah menguji kamu karena kamu memang cantik sampai sampai para Dosen Penguji itu lupa waktu!”, suara Alan mulai menggoda. Seperti biasa Aini yang digoda dengan tenangnya tersenyum sambil berkata :
“Salah sendiri kenapa gadis cantik seperti aku skripsinya harus diuji padahal sudah jelas skripsiku bermutu tinggi dan salahnya lagi sudah bermutu tinggi yang nulis juga gadis cantik lagi jadi enggak usah diuji saja tapi langsung diluluskan aja dong !”, kata Aini sambil tertawa kecil. Mendengar jawaban Aini Alan Cuma bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sementara aku hanya bisa tertawa.
“Oh ya kalian nanti malam ba’da Isya aku undang ke rumah ada acara syukuran !”, kata Aini. Aku dan Alan menyampaikan terima kasih atas undangan tersebut.
“Syukuran apa dulu Ain?”, tanya Alan nampaknya mulai menggoda lagi.
“Tentu saja syukuran keberhasilan kita ini menyelesaikan ujian skripsi dengan lancar dong!”, jawab Aini.
“Ooooh aku pikir syukuran kamu dilamar Indra!”, kata Alan tambah usil. Busyeet si Alan ini rusak. Aku ingin tahu bagaimana sikap Aini. Dengan tenangnya Aini menjawab :
“Ooooh kalau acara itu tentu saja aku tidak akan mengundang kamu!”, kata Aini sambil tertawa lepas. Bukan main Aini. Dia tetap wajar dan tidak tersipu menghadapi godaan Alan. Kembali Alan harus garuk garuk kepalanya yang tak gatal itu. Mati kutu dia. Aku sebenarnya mengharapkan Aini tersipu-sipu mendengar selorohnya Alan itu. Tapi ternyata tidak sehingga sikap Aini yang wajar itu menguatkan dugaanku bahwa Aini selama ini memang hanya menganggapku seorang sahabat seperti dulu. Dia masih mengangapku seseorang yang pernah menjadi kekasih Erika, sahabat karibnya. So? Indra jangan terlalu berharap muluk-muluk ya. He he he hati kecilku selalu mengajakku untuk menginjakkan kakiku di bumi.
Malam itu sehabis Isya aku meluncur ke Rumah Aini di Jalan Bangka dengan sepeda motor antikku. Di teras aku disambut Aini dan dipersilahkan masuk ruangan yang sudah penuh dengan tamu undangan lainnya. Tampak Alan, Retno, Triana, Bagus, Zulkifli, Risa, Nina, Ardian, Hendra, Fadel, Kinas, Tuti, Santi, Sinta, Sisi, Sifa, Amza, Reza, Mita, Mega wah aku lihat mereka semua adalah teman-teman HMI baik yang seangkatan maupun yang adik kelas. Tak lama kemudia acara segera dimulai dengan sambutan tunggal Bapak Bachtiar Chaniago. Beliau adalah Ayah Aini yang Guru Besar Fisika di UI. Pantaslah jika Aini adalah gadis yang cerdas. Ibunya Aini ada disamping kiri Pak Bachtiar. Kecantikan ibunya ini rupanya yang menurun kepada anak gadisnya. Aini adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua orang kakaknya semua laki-laki. Mereka alumnus pertambangan ITB dan kedokteran UI. Sekarang mereka sudah berkeluarga. Selama sambutan tunggal Pak Bachtiar, sama sekali aku tidak memperhatikan apa yang diucapkan beliau. Perhatianku fokus kepada gadis cantik dengan jilbab rapi menutupi wajah oval bermata tajam dan indah, berhidung mancung, berbibir ramah dan manis jika tersenyum. Gadis itu adalah Aini yang ada persis di depanku. Tak bosan-bosan aku memandangnya yang saat itu sedang tertunduk penuh hidmat mendengarkan wejangan Sang Ayah. Oh Tuhan begitu sempurna Kau ciptakan dia Maha Besar Engkau ya Allah. Apakah Kau izinkan andaikan dia jadi istriku?. Aku merasakan kedamaian jika berada di dekatnya ya rasanya sama seperti dulu ketika Erika masih bersamaku. Perasaan-perasaan seperti itu seolah kini berulang. Getaran-getaran hati ini juga demikian. Tidak salah aku memang jatuh cinta kepada Aini. Tanpa sadar aku sudah demikian lama memandangi Aini ketika tiba-tiba Aini mengangkat wajahnya dia tersenyum memandangku dan aku sudah pasti terkejut karena kepergok sedang memandangnya. Tapi aku segera membalas senyumnya. Acara syukuran malam itu ditutup dengan makan malam bersama. Acara sederhana ini selesai tidak terlalu larut malam. Para tamu satu-demi satu mulai berpamitan. Sebenar-nya aku juga akan segera berpamitan ketika tiba-tiba Aini mencegahku agar aku sebaiknya jangan pulang dulu. Kulihat Alanpun sudah pamit duluan. Akhirnya semua tamu-tamu sudah pulang tinggal aku sendirian.
“Indra mari kita duduk di teras depan saja!”, ajak Aini. Kami berdua menuju teras depan. Di sana memang lebih nyaman karena bisa langsung memandang ke arah jalan Bangka yang malam itu sudah mulai sepi. Padahal biasanya dari pagi sampai sore jalan ini super ramai karena dilalui Angkot dari Terminal Baranang Siang pulang pergi ke arah penjuru kota Bogor seperti jalan Merdeka, Pasar Anyar, Pasar Bogor, Jalan Surya Kencana, Tajur sampai ke arah Ramayana, Pangrango, Raya Pajajaran, jalan Salak, Gunung batu, Sindang Barang, Demaga dan entah kemana lagi.
“Indra ada kabar baik lagi!”, suara Aini mengejutkanku.
“Berita apa Ain!”, tanyaku terheran-heran.
“Insya Allah aku mungkin diterima di salah satu Universitas di Brisbane. Kolega Papaku di sana bisa merekomendasikanku. Transkip nilaiku sampai semester 7 dan hasil ujian Toefl sudah mereka evaluasi jadi ijazah S1 dan transkip semester 8 nanti tinggal melengkapi persyaratan yang terakhir saja!”, kata Aini gembira.
“Aku ikut senang Ain kau bisa melanjutkan S2 di sana dan itu pantas untukmu jika tidak kau lakukan maka kepandaianmu menjadi sia-sia!”, kataku.
“Bisa saja kamu. Lalu Indra apa rencanamu setelah lulus nanti?”, tanya Aini.
“Prof Tris telah memintaku untuk tetap membantu beliau dalam praktikum kimia dasar, organik, analisis dan instrumen analisis sambil aku menunggu formasi tenaga dosen..!”, kataku mantap. Ya aku mungkin tidak akan meninggalkan kota Bogor ini. Aku memutuskan ingin menjadi dosen di Kampus almamaterku.
“Syukurlah kalau kau masih mau tetap tinggal di Bogor. Nanti kalau aku sedang liburan kuliah tidak perlu susah susah mencarimu kalau kau masih di Bogor iya khan?”, kata Aini sambil tertawa kecil. Oh Aini kenapa ada angin surga lagi. Mendengar perkataan itu terus terang aku bisa menyalah artikan kata-katanya. Apakah itu berarti ia akan merindukan aku selama dia di Australia. Nah lho iya khan mulai lagi aku harus melayang-layang di Angkasa dengan angan-angan yang kosong.
“Ain kapan rencana kepergianmu ke Australia?”, tanyaku.
“Paling cepat bulan depan mungkin selesai acara wisuda besoknya aku harus bersiap karena dua hari setelah itu ada intensif bahasa inggris yang harus kuikuti di sana selama tiga bulan sebelum mengikuti kuliah awal Agustus…!”, kata Aini. Oh Tuhan tinggal sebulan lagi aku bercengkrama dengan gadis ini dan setelah itu aku harus berpisah.
Sabtu itu hari wisuda. Ibuku dan adikku hadir di sana menyaksikanku di wisuda. Kami dengan suka cita berfoto merayakan keberhasilanku meraih kesarjanaanku. Pada kesempatan itu untuk pertama kali aku memperkenalkan Aini kepada ibuku dan adikku. Ibuku berbisik ditelingaku sambil mengatakan bahwa aku pandai sekali mendapatkan kekasih secantik Aini. Aku mengatakan kepada Ibu bahwa Aini adalah teman biasa atau sahabat biasa. Ibuku tidak percaya. Beliau mengatakan Aini sepertinya cocok menjadi kekasihku dan bahkan ibu sangat setuju jika Aini mau menjadi menantu Ibu. Wah benar-benar aku bingung pada kesan pertama saja Aini sudah bisa menawan hati Ibu. Entahlah aku benar-benar pusing dan bingung.
“Mas pada saat seperti ini Ayah pasti bangga melihatmu lulus dengan nilai yang bagus!”, suara Andri adikku memecahkan keheningan. Aku sangat bersyukur kelulusanku berpredikat Sangat Memuaskan dengan IPK 3,65 sedangkan Aini sudah bisa ditebak dia lulus dengan predikat Cumlauda.
“Ya De !”, aku memanggil Andri dengan panggilan sayang De kependekkan dari Ade. Kulanjutkan perkataanku.
“Memang kita saat ini merindukan Ayah tapi kita harus sadar bahwa Ayah sudah dipanggil oleh yang Maha Punya!. Biarkan kerinduan kita kepada Ayah kita wujudkan dengan doa untuk Ayah!”, kataku perlahan. Aku dan Andri sepakat bahwa doa anak yang soleh kepada orang tuanya yang sudah meninggal adalah pahala Allah yang tidak pernah terputus. Hari wisuda itu benar-benar penuh dengan kegembiraan sekaligus keharuan yang mendalam. Aku bersama ibu dan Andri adikku meninggalkan Kampus karena seluruh rangkaian acara wisuda sudah selesai. Aku berjumpa Aini dipelataran parkir dan kulihat Aini melambaikan tangannya kepadaku sambil menghampiriku.
“Indra nanti malam aku tunggu di rumah ya!”, suara Aini perlahan.
“Ya Ain insya Allah aku akan ke rumah!”, kataku perlahan. Lalu Aini tersenyum dan kembali menemui keluarganya yang sudah menunggu di pelataran parkir mobil. Kulihat di sana Bapak dan Ibu Bachtiar Chaniago, kedua orang tua Aini melambaikan tangan kepadaku. Aku membalas lambaian tangan mereka.
Malam itu sehabis sholat Magrib aku sudah ada di rumah Aini. Kami seperti biasa duduk diteras depan.
“Indra aku sebenarnya berat meninggalkan kota Bogor ini. Bukan apa-apa aku tidak terbiasa merantau. Di Australiapun nanti aku tinggal di rumah sepupu Papaku yang sudah delapan tahun bekerja di Brisbane. Mudah-mudahan aku betah di sana!”, kata Aini dengan suara pelan.
“Insya Allah Ain demi kariermu dan demi masa depanmu kau pasti betah di sana!”, kataku perlahan.
“Indra rasanya seperti mimpi malam ini ternyata malam terakhir kita ketemu karena besok aku harus pergi ke Australia. Besok aku dapat penerbangan jam 17 dari Bandara Soekarno Hatta dengan Qantas langsung ke Brisbane. Aku berharap kau mau hadir mengantarkan kepergianku tapi jika tidakpun malam ini kita kan sudah ketemu. Aku hanya berharap doamu Indra agar aku diberi ketabahan karena aku merasakan begitu berat meninggalkan Bogor yang penuh dengan kenangan ini!”, suara Aini perlahan hampir tak terdengar lalu aku melihat ada setitik air mata dipipinya. Sesungguhnya aku terkejut mengapa Aini menangis. Apakah dia berat meninggalkan Bogor atau berat meninggalkanku. Aku tidak tahu.
“Maafkan aku Indra. Aku terlalu hanyut dengan perasaan !”, kata Aini sambil mengusap air mata itu. Aku masih terdiam tak dapat berkata sepatah katapun. Apakah ini saatnya aku mengutarakan cintaku yang selama ini aku pendam dalam-dalam. Inikah saatnya?. Apakah aku punya kebenanian mengucapkan cintaku?. Aku merasakan dia mencintaiku ya aku merasakan hal itu. Tapi apakah benar dia mencintaiku?. Ataukah itu hanya dugaanku saja. Oh Tuhan seharusnya aku tahu diri. Ingat Firman ALLAH : Perempuan baik-baik hanya untuk laki-laki baik-baik. Aini adalah perempuan baik-baik tentu dia layak mendapatkan laki-laki baik-baik. Lha aku iki opo?. Laki-laki baik-baik?. Nanti dulu. Belajar agama saja baru akhir-akhir ini setelah Aini banyak membantuku. Sudahlah Indra jangan mimpi dapat memperoleh cinta Aini. Lagi pula Aini mana mungkin mencintai orang yang dulu pernah menjadi kekasih sahabatnya.
“Indra kenapa kamu melamun?”, suara Aini membuat aku tersentak dari lamunanku.
“Oh tidak Ain. Aku sebenarnya juga merasa sedih setelah malam ini entah kapan kita ketemu lagi Ain!”, kataku pelan. Kulihat Aini hanya tertunduk membisu dan kembali aku melihat setitik air mata meleleh dipipinya. Air mata itu semakin deras ketika malam semakin larut dan aku harus berpamitan. Tak ada kata-kata ketika aku bergegas pulang. Hanya tatapan mata Aini yang indah itu begitu penuh arti bagiku. Aku seperti mengenal tatapan mata seperti itu. Tatapan mata yang seolah menunggu ungkapan perasaan hatiku kepadanya. Namun aku dibelenggu keraguan untuk mengungkapkan rasa cintaku. Ya aku seperti mengenal tatapan mata seperti itu.
Malam itu sesampai di rumah aku mendiri-kan sholat tahajud dan berdoa agar Allah selalu memberi petunjukNya. Dua jam kemudian subuhpun menjelang. Setelah sholat subuh aku tertidur di sajadah itu. Aku baru terbangun hampir pukul 12. Astagfirullah. Benar-benar sangat melelahkan. Aku tak bisa melupakan peristiwa malam itu bersama Aini. Aku merasakan ada kesedihan dalam diri Aini malam itu. Tatapan matanya yang penuh kerinduan jelas sekali dapat aku rasakan. Hari ini mungkin dia sudah berangkat ke Jakarta karena sore ini jam 17 dia sudah harus terbang ke Brisbane. Aku ingat malam itu tatapan matanya yang teduh penuh dengan seribu arti padahal aku hanya membutuhkan satu arti saja yaitu arti cinta yang terdalam yang aku tunggu-tunggu. Sambil dia menatapku, air matanya tak henti terus menitik dipipinya. Indra tidakkah kau merasakan bahwa hal itu berarti perasaan Aini begitu sedih meninggalkanmu. Indra kenapa kau tidak yakin bahwa Aini sebenarnya benar-benar mencintaimu jika tidak mengapa dia harus menangis malam itu ketika saat terakhir bertemu denganmu. Indra tidakkah kau yakin sesungguhnya Aini menganggapmu laki-laki yang istimewa dihatinya, kalau tidak mengapa dia selalu menemanimu dikala kau merasa mengalami kesendirian. Indra tidakkah kau merasakan cintanya, kalau tidak, mana mungkin kau sendiri merasa cinta kepadanya. Oh Tuhan tiba-tiba aku ingin menyusul Aini. Aku harus ke Bandara. Aku harus menyusul ke Bandara. Aku harus ketemu Aini. Aku harus mengatakan cintaku kepadanya sebelum pesawat yang membawanya ke Brisbane terbang jauh. Aku harus segera ke Bandara. Aku harus mengatakan cintaku padanya. Oh Tuhan kini sudah pukul 14.00. Aku harus segera sholat dzuhur dan langsung ke Bandara. Siang itu dengan menggunakan Damri jurusan Bogor – Soekarno-Hatta, aku menyusul Aini. Semoga Pesawatnya belum terbang. Selama di perjalanan hatiku gundah dan resah sementara waktu terus berlalu begitu cepat sedangkan Damri ini aku rasakan begitu lambat padahal di Tol Jagorawi itu kecepatannya mencapai 120 km/jam. Sesampainya di Bandara ternyata waktu check in para penumpang sudah selesai aku berlari melihat ke kiri ke kanan berusaha mencari Aini diantara penumpang-penumpang dan dengan nekad menerobos masuk ke ruang tunggu di dalam. Untung aku masih bisa menyelinap dengan aman. Di ruang tunggu itu tidak terlihat Aini maka akupun berlari menuju tangga ke ruang tunggu keberangkatan. Oh Tuhan aku melihat Aini di sana sedang menunggu antrian pemeriksaan tiket. Kupanggil namanya sambil berlari. Aini berbalik dan dia melihatku. Oh Tuhan Maha Besar Engkau. Ainipun berlari menghampiriku sambil memanggil namaku. Kini kami berhadapan dekat sekali ya dekat sekali tapi tidak mampu untuk berkata-kata dan hanya bisa saling memandang. Kulihat tatapan mata kerinduan yang rasanya pernah kukenal dulu. Bekas tangisan tadi malam masih membekas di matanya yang indah itu. Kami saling bertatapan sambil berpegangan tangan seolah olah seperti dua kekasih yang sudah lama berpisah dan baru bertemu lagi untuk melepaskan kerinduan.
“Indra!”, suara Aini.
“Aini!”, suaraku tertahan di kerongkongan. Sesungguhnya aku ingin segera mengucapkan rasa cintaku kepadanya. Tapi bibirku rasanya terkatup rapat. Lidahku kelu tidak mampu aku berkata-kata lagi selain menatap Aini sepuas-puasnya. Sungguh bibirku terkunci. Kata-kata cinta yang sudah aku persiapkan sejak tadi malam seakan hilang entah kemana. Aku melihat bibir gadis yang kucinta itu bergetar menahan tangis, matanya memandangku dalam kesedihan seolah-olah ini adalah perpisahan yang terakhir kali. Kedua tangannya memegang tanganku erat-erat seakan tidak mau lepas. Tidak lama kemudian terdengar suara pemberitahuan agar para penumpang pesawat tujuan Brisbane segera bersiap-siap. Mendengar pemberitahuan itu kami baru tersadar.
“Indra selamat tinggal jaga diri baik-baik. Terima kasih kedatanganmu telah membuatku kembali bersemangat. Terima kasih Indra. Assalaamu’alaikum !”, suara Aini perlahan sekali dan bibirnya bergetar menahan tangis dengan tatapan mata kesedihan. Kembali mata indah itu dibasahi air mata.
“ Aini aku-aku akan merindukanmu. Selamat jalan!”, kataku perlahan. Mendengar kata-kata itu kulihat Aini tersenyum penuh arti lalu dia melepaskan pegangan tangannya. Aku hanya terpaku kaku tak bergeming lalu Aini membalikkan tubuhnya bergegas menuju pesawat. Kulihat dari jauh dia berbalik sambil melambai-lambaikan tangannya kemudian berlalu memunggungiku. Aku hanya bisa memandangnya dengan tatapan kosong.
“Aini Aini aku mencintaimu!”, suaraku perlahan seperti berbisik. Akhirnya keluar juga kata-kata itu tapi gadis itu kini sudah tidak berada di sisiku lagi. Pesawat terbang itu telah membawanya pergi jauh menembus awan sementara aku disitu masih termangu memunguti rindu-rinduku yang berserakan di lantai.
Sebuah kata cinta sudah terucap namun hanya Allah yang tahu maka biarkanlah aku mencurahkan isi hatiku padaNya. Tiada tempat sebaik-baik tempat selain berada disisiNya.
Ya Allah, aku pernah berkata bahwa,
semua cinta dan segala cinta,
adalah milikMu bukan milikku,
bukan milik siapa-siapa,
maka aku sangat takut berdosa,
jika aku mencintainya ,
bukan karena aku mencintaiMu,
aku tanam budi dihatinya,
tidak kukotori dengan pamrih,
biarkan tetap putih,
hingga akhir nanti.
Ya Allah, cinta adalah rahasia besar milikMu,
berilah aku kekuatan untuk memahaminya,
aku mohon perlindungan hati ini,
dari kejahatan diriku sendiri,
aku bersimpuh bersimbah peluh,
aku berdoa tengadah,
beriring gundah, bergenggam resah.
Aku berlutut berpangku takut.
Aku berjalan tertatih dan terjatuh,
hanya untuk menggapai cintaMu.
(FIKSIANA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar